BENTURAN PERADABAN SEMAKIN MEMDESAK DIALOG LINTAS BUDAYA,AGAMA DAN BANGSA
Banten,posjakartaraya.com
Tesis Samuel P. Huntington tentang perang berbasis ideologis akan menjadi perang berbasis peradaban. Pendedahannya lewat artikel The Last of Civilisations mengungkap bahwa pada masa kini akan dibentuk oleh interaksi antara tujuh atau delapan peradaban dunia, utamanya Barat, Konfusius, Jepang, Islam, Hindu, Slavia Ortodok, Amerika Latin dan kemungkinan juga ikutnya Afrika.
Peradaban Islam menurut Samuel P. Huntington paling potensial menggoyah peradaban Barat. Sementara Francis Fukuyama yang sudah mempublish tesisnya pada tahun 1989, yaitu “The End of History melalui jurnal The National Interest melontarkan spekulatif nya tentang masa depan politik dunia. Barat diperkirakan mampu mengatasi rival ideologisnya, yaitu monarki herediter, fasisme dan komunisme, sehingga konfigurasi politik dunia berhasil membuat konsensus dengan demokrasi liberal.
Asumsi Francis Fukuyama ini bersandar pada titik akhir dari revolusi ideologi yang final dari model pemerintahan yang ada. Dalam kondisi dan situasi serupa inilah, katanya berakhirnya perang ideologi dengan keoknya blok komunis yang memberi tahta bagi demokrasi yang diunggulkan oleh Amerika. Artinya, demokrasi yang menjadi unggulan Amerika tidak mampu diimbangi oleh negara-negara lain di dunia. Inilah akhir dari sebuah sejarah (The End of History) yang kemudian diperluas wilayah analisisnya menjadi buku berjudul The End of History and The Last Man.
Lalu sederet negara yang mengunggulkan sistem demokrasi liberal jadi sepakat mulai tahun 1990 sampai sekarang. Tampaknya Indonesia pun termasuk di dalamnya, meski dalam prakteknya masih acap terkesan dan terlihat mendua. Padahal, pada tahun 1790-an tiga negara yang terbilang sudah kampiun pada masa itu telah menganut sistem demokrasi liberal, yaitu Amerika Serikat, Swis dan Prancis. Lalu terus berkembang pada 1848 menjadi lima negara, dan pada tahun 1900 berkembang lagi menjadi 13 negara. Pendek kata sampai tahun 1990, demokrasi liberal di dunia telah diikuti oleh 61 negara.
Karena itu — sejak tahun terakhir perkembangan demokrasi liberal itu, tak lagi ada ideologi yang mampu mengimbangi demokrasi liberal, kecuali Islam. Tapi pada tahun 1991, tesis Barry Buzan justru melihat potensi konflik ideologis antara Barat dengan Timur. Lebih spesifiknya Barat menghadapi Islam yang sempat menimbulkan perang dingin. Kajian geografis dan antagonisme historis serta peranan politik terbuka yang diperankan Islam, membuat persaingan terhadap Islam yang sangat potensial dengan identitas kolektifitasnya yang kuat dan terus melesat di penjuru dunia. Ikhwal perang ideologis yang ditulis Francis Fukuyama dibantah Murad W. Hofmann yang menulis buku tentang “Islam : The Alternative yang telah diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan diterbitkan oleh Pustaka Hidayah, Bandung, 2022. Maka itu, Civilization and The Remaking of World Order menurut Samuel P. Huntington akan mendominasi politik global. Sebab benturan antar peradaban akan semakin memperjelas identitasnya. Katena itu, Samuel P. Huntington memberi saran sekaligus arahan agar Barat memberi perhatian khusus terhadap Islam. Sebab diantara peradaban besar yang ada di dunia ini, hanya Islam yang eksis dan memiliki potensi meruntuhkan peradaban Barat.
Agaknya, itulah sebabnya Islam terus menjadi sorotan untuk dilumpuhkan dengan berbagai cara dan dalih melalui beragam isu dan stigma. Sementara Islam yang sejatinya mengusung rahmatan lil alamin. Tampaknya, dalam fenomena yang meresahkan ini pula gagasan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) semakin relevan untuk terus membangun gerakan kebangkitan dalam kesadaran serta pemahaman spiritual bagi bangsa Indonesia untuk kemudian menjadi motor penggerak utama pertemuan persaudaraan lintas agama dan lintas negara di Indonesia, sehingga Indonesia tidak saja mampu menjadi Mercu suar dunia, tetapi dapat disepakati sebagai poros perdamaian dunia serta kiblat peradaban manusia di bumi.
Program besar itu sudah mulai dirintis oleh GMRI melalui tahapan pendekatan serta pembicaraan serius dengan berbagai pihak sejak tiga tahun lalu (2020) yang sangat diharap bisa terwujud dalam waktu dekat. Dialog yang akan membahas peradaban bersama tokoh agama-agama dari berbagai negara di dunia, menurut Sri Eko Sriyanto Galgendu diharap dapat segera terlaksana dalam waktu dekat di Indonesia — Jakarta, Yogyakarta dan Bali — ujarnya dalam diskusi santai pada berbagai kesempatan di berbagai tempat untuk menggalang dukungan dari semua pihak yang konsen terhadap kerukunan dan perdamaian hidup manusia di bumi.(Red-posjr)
(Jacob ereste,Banten, 7 Maret 2024)